Senin, 14 Oktober 2013

Mau Jadi Apa?

Ditulis oleh Asa di 05.28
          “Alia!”, seru seorang anak laki-laki bertubuh sporty dan tampak keren dengan seragam futsalnya yang berwarna merah marun. Gadis berkerudung merah dan mengenakan hem panjang selutut berwarna biru muda serta mengenakan celana jeans biru tua yang sedang duduk di pinggir lapangan langsung menengok ke arah datangnya suara. Gadis itu nampak tidak mengenali laki-laki itu, dia mencoba menyipitkan matanya lalu dikeluarkanlah kacamata berbingkai hitam dari kotaknya. Setelah memakai kacamata, dia mulai mengenali laki-laki itu dan mengembangkan senyum manisnya. “Ravi!”, teriakan kecil Alia membalas sapaan Ravi. Ravi membalas senyum Alia dan berlari-lari kecil menghampiri Alia dan duduk di sampingnya. “Lama ya kita nggak ketemu, masih kecil aja”, goda Ravi sambil tertawa mengejek dan mengelus kepala Alia dengan kasar. “Kamu kebiasaan Rav, kerudungku jadi berantakan kan”, gerutu Alia sambil memanyunkan bibirnya. “Maaf maaf, kamu ngapain disini?” tanya Ravi sambil memperhatikan Alia yang sedang asik menata kerudungnya. “Kebetulan tadi aku habis ngajar dideket sini, eh ada bangku kosong yauda aku dudukin aja, lumayan buat ngilangin capek. Kamu sendiri?” jawab Alia sambil menata kerudungnya.
Beberapa detik tidak terdengar jawaban Ravi, Alia menengok ke arah Ravi dan melihat Ravi sedang melamun dan memandanginya. Sudah lama Ravi tidak bertemu Alia, dan di bangku coklat tua inilah pertama kalinya dia duduk di samping gadis yang sudah lama dia kagumi setelah lama tidak bertemu. “Rav?” suara lembut Alia membuyarkan lamunan Ravi, “Iya Al?”. “Ah kamu kebiasaan, setiap diajak ngobrol sering melamun”, Alia kesal. “Kamu tadi tanya apa Al?” tanya Ravi mencoba kembali ke pembicaraan awal mereka yang sempat terganggu karena lamunannya. “Aku tadi tanya, kamu ngapain disini?” sahut Alia. “Coba tebak!”, kata Ravi. Alia meletakkan telunjuknya di pelipis kepala, seolah-olah seperti sedang mencoba memecahkan suatu teka-teki, “Emm.. Hari minggu. Sore hari. Badan berkeringat. Bau asem. Seragam futsal. Sepatu futsal. Handuk buluk. Aku tau, pasti habis main futsal. Iya kan?”, jawab Alia dengan senyum kegirangan setelah berhasil menebak tebakan Ravi. “Al emang paling tau deh!”, ujar Ravi dengan tawa ringan yang disambut dengan tawa malu-malu Alia.

            Hening. Setelah tertawa bedua mereka diam seribu bahasa. Alia sibuk memainkan rumput hijau di bawah kakinya dengan flatshoes merah marunnya. Sedangkan Ravi sibuk melihat kaki Alia yang bergerak kesana kemari, ke kanan dan ke kiri. “Uda makan Al?”, suara Ravi memecah keheningan. “Emm.. belum Rav. Belum sempet. Ini aja baru selesai ngajar dari rumah singgah.”, jawab Alia tanpa menengok ke arah Ravi melainkan masih melihat ke arah rumput di sekitar sepatunya. “Makan yuk Al, sekalian kita ngobrol-ngobrol. Kan uda lama nggak ketemu. Kangen nih.”, ajak Ravi. Kaki Alia berhenti memainkan rumput, dan menengok ke arah Ravi. “Tapi Rav, uda sore nih. Abis ini aku harus uda balik ke rumah. Kan nggak ada angkot kalau malam”, Alia berusaha menolak. “Gampang, nanti aku anterin kamu pulang. Gimana?”, bujuk Ravi dengan berdoa dalam hati agar Alia tidak menolak ajakannya kali ini. “Okelah”, jawaban Alia membuat Ravi lega. Sudah 6 bulan mereka tidak bertemu. Alia dan Ravi dulunya bersekolah di SMA yang sama di Surabaya, selama 2 tahun mulai dari kelas X hingga kelas XI. Dan satu kelas selama 1 tahun yaitu pada saat kelas XI. Namun, saat kenaikan kelas XII Ravi harus pindah ke Malang karena ayahnya ditugaskan disana. Karena dia seorang laki-laki dan sudah remaja, dia sering bolak-balik Surabaya Malang sendirian saat hari libur walau hanya untuk sekedar main futsal bersama teman-teman lamanya, seperti hari Minggu ini.

            Ini kali pertama Ravi membonceng Alia. Alia adalah sosok gadis yang sederhana dalam berpenampilan, sopan dalam bertutur kata, pintar dan berwawasan luas, dan memiliki rasa peduli lingkungan yang tinggi. Sosok seperti Alia-lah yang dapat menarik perhatian Ravi. Selama perjalanan menuju rumah makan, Alia dan Ravi tidak membicarakan apapun. Mereka hanya diam sampai mereka tiba di depan rumah makan yang mereka tuju. “Uda sampai Al”, ucapan Ravi membuyarkan keasikan Alia yang sedang bermain game Pou di handphone-nya. “Oh uda sampai ya?”, Alia memasukkan handphone-nya ke dalam tas dan turun dari sepeda motor Ravi. Mereka masuk dan mencari tempat duduk yang kosong, Ravi memanggil pelayan dan memesan makanan. Sambil menunggu pesanan datang, Alia nampak asik melanjutkan game Pou-nya sedangkan Ravi hanya mengamati Alia yang sedang asik sendiri. “Al?”, tanyanya untuk memastikan apakah Alia mendengarkan dia atau tidak. “Iya Rav?”, jawab Alia dengan menoleh ke arah Ravi dan meletakkan handphone-nya di meja. “Aku tadi denger kamu sebut-sebut rumah singgah. Itu apa sih?”, tanya Ravi dengan memainkan kunci sepeda motor yang sedari tadi dia pegang. “Oh, rumah singgah itu tempat aku ngajarin mereka”, jawab Alia yang tidak sepenuhnya menjawab rasa penasaran Ravi. “Mereka siapa?”, tanyanya lagi. Belum sempat Alia menjawab, seorang pelayan menghampiri meja mereka untuk mengantar pesanan. “Permisi mas, ini pesanannya” ucap pria berusia 30 tahunan dan berkumis, sambil meletakkan 2 piring nasi goreng dan 2 gelas es jeruk di meja. “Terima kasih pak”, ucap Alia dengan melemparkan senyum manisnya ke bapak berkumis itu. Mereka pun mulai melahap makanan mereka masing-masing.

            “Lanjutin dong Al”, kata Ravi dengan cepat cepat meletakkan tangan yang dilipat di atas meja seolah-olah sudah siap mendengarkan cerita Alia. Alia tertawa geli melihat ekspresi wajah Ravi yang mirip sekali dengan ekspresi anak kecil yang sedang serius menonton film spongebob, “Biasa aja bisa nggak Rav? Antusias banget”, kata Alia sambil menyeruput es jeruknya yang hampir habis. “Kamu mau tau banget?”, tanyanya lagi. “Emm nggak juga sih. Eh, bisa dibilang gitu lah pokoknya”, ujar Ravi. “Kamu besok libur kan? Kalau gitu ikut aku aja ke rumah singgah. Biasanya aku ngajar cuma hari minggu. Jadi, mumpung liburan aku ngajarnya bisa tiap hari.”, ajak Alia. Tanpa pikir panjang, Ravi langsung meng-iya-kan ajakan Alia “Boleh juga Al, jam berapa? Aku jemput kamu ya? Aku harus bawa apa? Pakai sandal apa sepatu?”, beberapa pertanyaan konyol terlontar dari mulut Ravi. “Uda tanyanya? Aku jawab ya, jam 08.00 WIB. Nggak usah, kita ketemuan di rumah singgah aja, nanti aku kasih alamatnya. Nggak harus bawa apa-apa yang penting pakai baju biar nggak malu-maluin. Terserah, asal jangan pake high heels aja.”, jawab Alia yang disusul dengan tawa. Ravi ikut tertawa bersamanya. “Uda mau maghrib nih Rav, pulang yuk!”, ajak Alia. “Yuk!”, sahut Ravi lalu membayar di kasir. Sesampainya di depan rumah Alia. “Makasi Rav uda mau nganterin”, ucapan terima kasih Alia disusul dengan suara nyala sepeda motor Ravi. “Iya Al sama-sama”, jawab Ravi sambil melajukan motornya meninggalkan pekarangan rumah Alia.

            Keesokan paginya, tepat pukul 07.00 Alia sudah tiba di rumah singgah. Ia datang membawa buku-buku cerita yang bertemakan “cita-cita” miliknya. Ia bergegas menata bangku dan karpet. Lalu datanglah seorang anak laki-laki berusia 6 tahunan dengan membawa ayam jago kesayangannya. “Pagi kak Alia!”, sapa anak itu sambil tersenyum menatap Alia. “Pagi Beno!”, Alia membalas sapaan Beno. “Wah kak Alia bawa buku cerita banyak banget, Beno boleh pinjam kak?”, wajah Beno tampak senang saat melihat tumpukan buku itu. “Boleh dong, asal ayamnya ditaruh dulu di rumah. Nanti bisa ganggu Beno pas lagi baca lho.”, jawab Alia. “Oh iya, yauda kak Beno anterin Ojan pulang dulu ya kak.”, Beno bergegas lari meninggalkan rumah singgah. Selang beberapa menit Beno sudah tiba lagi di rumah singgah sambil terengah-engah. “Cepat banget sampainya”, gerutu Alia sambil tertawa melihat tingkah lucu Beno.


Nyolong dari Mbah Google

            Beno nampak asik memilih buku cerita dan dia menemukan sebuah buku yang menarik perhatiannya. “Ci..ta.. ci..ta..ku..”, Beno terbata-bata membaca judul buku yang dia pegang. Dia tertarik karena melihat cover buku yang terdapat gambar kartun seorang anak laki-laki memakai seragam, bertopi, dan di belakangnya ada gambar pesawat. “Cita-cita itu apa kak?”, tanya Beno kepada Alia yang sedang menghapus papan tulis. Alia meletakkan penghapus papan-nya dan duduk di samping Beno. “Cita-cita itu kalau kita sudah besar kita mau jadi apa”, jawab Alia. “Kak Alia mau jadi apa?”, tanyanya lagi. “Kak Alia mau jadi dokter, kalau Beno?”, tanya Alia. “Beno mau jadi kayak gini kak”, jawab Beno sambil menunjuk cover buku yang dia pegang. “Beno mau jadi pilot?”, tanya Alia. Beno mengangguk, matanya tetap memandang cover buku cerita itu.

            “Assalamualaikum”, Alia mengenal suara itu, suara Ravi. “Waalaikumsalam, masuk Rav”, jawab Alia. “Kok masih sepi Al?”, tanya Ravi. “Iyalah, kan aku nyuruh kamu datang jam 8 ini masih setengah 8 Rav.”, jawab Alia. Ravi melihat Beno yang sedang asik membaca, “Halo adek, namanya siapa?”. Pertanyaan Ravi tidak terdengar oleh Beno karena masih asik membaca buku ceritanya. Alia hanya tertawa melihat Ravi dicuekin Beno. Muka Ravi terlihat kesal, bibirnya pun dimanyunkan beberapa centi. “Jelek banget Rav.”, Alia tertawa mengejek Ravi. Sudah pukul 08.00, anak-anak mulai berdatangan dan menempati tempatnya masing-masing. Ravi-pun membantu Alia untuk membagikan buku cerita yang tadi sudah disiapkan Alia. Anak-anak mulai mengamati buku yang mereka pegang. Alia memulai pembelajaran hari ini, “Selamat pagi adek-adek!”. “Selamat pagi kakak-kakak!”, sahut mereka. “Itu temannya kak Alia ya?”, sahut seorang gadis kecil yang duduk di bangku paling depan. “Iya Zahra, ini teman kak Alia. Namanya kak Ravi.”, jawab Alia sambil memegang pundak Ravi. Ravi menyapa mereka, “Halo adek-adek!”. Mereka kompak membalas sapaan Ravi, “Halo kak Ravi!”.

            “Adek-adek, cita-cita itu apasih?”, tanya Alia sambil mengacungkan jari telunjuk. Beno angkat tangan dan menjawab, “Kata kak Alia, cita-cita itu kalau kita sudah besar kita mau jadi apa”. “Wah Beno pintar!”, puji Alia sambil mengacungkan dua jempol untuk Beno. “Kak Alia mau tanya, apasih cita-cita kalian?”, Alia mulai menunjuk satu persatu anak mulai dari pojok kanan depan hingga pojok kiri belakang untuk memberikan jawaban. Ada yang ingin menjadi guru, dokter, pilot, dll. “Oke sekarang kalian baca buku ceritanya terus setelah itu kalian gambar sesuai cita-cita kalian. Nanti gambar terbagus dapet hadiah dari kak Alia”, tantang Alia kepada anak didiknya yang berjumlah 12 orang. Ravi membantu Alia membagikan kertas gambar dan krayon.

Sambil menunggu mereka menggambar, Alia dan Ravi duduk di teras rumah singgah sambil menikmati rintik-rintik hujan yang mulai turun. “Ngomong-ngomong soal cita-cita, cita-citamu itu apasih Al?”, Ravi memecah keheningan di tengah rintikan hujan. “Aku pengennya jadi dokter Rav, jadi aku sekarang harus belajar yang giat supaya dapat beasiswa. Kalau uda jadi dokter kan enak, bisa bantu ayah sama ibu nyekolahin adek-adekku. Nanti aku juga bisa bangun rumah singgah yang sesungguhnya buat mereka. Nggak cuma rumah singgah di pos ronda kayak gini.”, ujar Alia sambil mendongak melihat langit biru yang sedang menyirami tanaman di sekelilingnya. “Kalau kamu?”, Alia balik bertanya kepada Ravi. “Aku? Emm.. Kalau aku pengennya jadi polisi Al. Cocok nggak?”, tanyanya sambil tertawa kecil. Alia menoleh ke arah Ravi, menyipitkan mata sambil menopang dagu, “Emm.. enggak Rav.” jawabnya. “Serius Al? Kenapa?”, tanya Ravi serius dan penasaran. “Kamu nggak bisa marah sih.”, ledek  Alia. Ravi kesal dan mengacak-acak kerudung Alia. “Raviii…”, Alia kesal dan mengejar Ravi. Tanpa sadar mereka sedang berlari dibawah hujan.

“Yah.. basah kuyup kan”, rengek Alia saat masuk di rumah singgah. “Kak Alia, aku sudah”, teriak Zahra. “Aku juga sudah kak”, teriak anak lain. “Yauda, ayo dikumpulkan. Pengumumannya besok ya. Kan kita ketemu lagi, InsyaAllah”, jawab Alia dengan melempar senyum ke anak-anak yang masih lugu itu. “Kita boleh pulang nggak kak?”, tanya Beno. Alia melihat anak-anak sedang asik melihat hujan di jendela rumah singgah. “Nanti kalau kalian pulang, kalian kehujanan. Disini dulu aja ya.”, bujuk Alia. “Tapi kami pengen hujan-hujan kayak kak Alia tadi.”, sahut salah seorang anak yang sedang asik mengadahkan tangannya di luar jendela dan merasakan dinginnya air hujan. “Yauda, kalian boleh pulang.”, Alia akhirnya luluh dengan muka polos mereka yang merengek minta pulang agar bisa hujan-hujan. “Horeee…”, anak-anak langsung bergegas keluar dan menari-nari di bawah derasnya hujan yang mengguyur perkampungan mereka. Alia dan Ravi pun ikut menari-nari bersama mereka.

Hari demi hari berlalu seperti biasanya. Sekarang Alia sudah menjadi dokter di sebuah rumah sakit daerah di Surabaya. Setelah lulus SMA, dia diterima di Fakultas Kedokteran Universitas Airlangga di Surabaya dengan beasiswa. Semua itu dia dapatkan karena kerja keras yang dia lakukan selama ini. Sudah 2 tahun dia bekerja di rumah sakit tersebut, dan sekarang dia sudah bisa menyewa sebuah rumah kecil yang dia gunakan sebagai rumah singgah. Beno, Zahra, dan 10 anak didik Alia angkatan pertama yang lain sudah beranjak remaja. Kini mereka-lah yang sering membantu Alia untuk mengajar anak-anak rumah singgah yang lebih muda. Adik Alia, Naila yang saat ini duduk di bangku SMA kelas XII dan Alif yang duduk di bangku SMA kelas X juga sering mampir ke rumah singgah untuk membantu Alia yang sering absen karena pekerjaannya sebagai dokter tidak bisa izin keluar dengan mudah. Sedangkan si bungsu, Zafran yang masih duduk di kelas 2 SD juga sering ikut Naila dan Alif ke rumah singgah walau hanya sekedar untuk bermain bersama anak-anak di rumah singgah. Kedua orang tua Alia merasa bangga karena mereka mempunyai anak yang memiliki rasa sosial yang tinggi, karena 

Sebaik-baiknya manusia adalah manusia yang bermanfaat bagi manusia lainnya”

(Tok tok tok) Salah seorang suster membuka pintu ruangan Alia, “Permisi dok, ada yang mau bertemu dengan dokter.” Alia yang sedang sibuk dengan laptopnya menoleh ke arah pintu, “Siapa?” tanyanya. “Seorang pria dok, memakai seragam polisi.”, jawab suster itu. “Suruh masuk saja sus.”, pinta Alia. Suster kemudian menutup pintu dan tidak lama kemudian pintu terbuka kembali. Alia melihat seorang pria di balik pintu itu. Wajah pria itu nampak familiar baginya, pria itu nampak gagah dengan seragam polisinya, Alia menyebutkan sebuah nama, “Ravi?”. Pria itu tersenyum ke arahnya dan berkata “Halo bu dokter, uda lama ya kita nggak ketemu. Tapi kok masih kecil aja ya?”, goda Ravi yang sudah nampak dewasa dengan pekerjaan barunya. “Kamu masih nyebelin aja ya Rav, silahkan duduk pak polisi.”, Alia membalas godaan Ravi. “Gimana Al? Cocok nggak?”, tanya Ravi sambil senyum manis kepada Alia. “Emm.. Kalau sekarang sih cocok Rav.”, jawab Alia dengan diiringi canda tawa. Mereka pun mengobrol sambil mengingat kembali masa lalu mereka, mulai dari saat mereka SMA, bertemu di lapangan sepak bola, bertemu dengan anak-anak rumah singgah, dan menari dibawah hujan. 

Quote of this short story : DO WHAT YOU CAN, WITH WHAT YOU HAVE, WHEREVER YOU ARE :)

Cewek, Mau Jadi Apa? 


Dokter?

Pilot?
Pengacara?

Atau istri yang sholeha? Ceileh..



(Created by: Alifatuz Zahrah)

6 komentar:

R.P. Adhitama mengatakan...

wadah" keren gila

Rachmawati Utami mengatakan...

Bagus sa :)
Like it deh (y)

Gita mengatakan...

jadi pendidik bagsa dongs :)

Asa mengatakan...

@Ical : makasi mbah :)
@Rachmawati : terima kasih :)
@Gita : Aamiin semoga tercapai :)

syukur mengatakan...

Pahlawan tanpa tanda jasa.

Unknown mengatakan...
Komentar ini telah dihapus oleh administrator blog.

Posting Komentar

leave a comment here, commenters.

 

Anything Posting Template by Ipietoon Blogger Template | Gadget Review