“Alia!”, seru seorang
anak laki-laki bertubuh sporty dan tampak keren dengan seragam futsalnya yang
berwarna merah marun. Gadis berkerudung merah dan mengenakan hem panjang
selutut berwarna biru muda serta mengenakan celana jeans biru tua yang sedang
duduk di pinggir lapangan langsung menengok ke arah datangnya suara. Gadis itu
nampak tidak mengenali laki-laki itu, dia mencoba menyipitkan matanya lalu
dikeluarkanlah kacamata berbingkai hitam dari kotaknya. Setelah memakai
kacamata, dia mulai mengenali laki-laki itu dan mengembangkan senyum manisnya. “Ravi!”,
teriakan kecil Alia membalas sapaan Ravi. Ravi membalas senyum Alia dan
berlari-lari kecil menghampiri Alia dan duduk di sampingnya. “Lama ya kita
nggak ketemu, masih kecil aja”, goda Ravi sambil tertawa mengejek dan mengelus
kepala Alia dengan kasar. “Kamu kebiasaan Rav, kerudungku jadi berantakan kan”,
gerutu Alia sambil memanyunkan bibirnya. “Maaf maaf, kamu ngapain disini?”
tanya Ravi sambil memperhatikan Alia yang sedang asik menata kerudungnya. “Kebetulan
tadi aku habis ngajar dideket sini, eh ada bangku kosong yauda aku dudukin aja,
lumayan buat ngilangin capek. Kamu sendiri?” jawab Alia sambil menata
kerudungnya.
Beberapa
detik tidak terdengar jawaban Ravi, Alia menengok ke arah Ravi dan melihat Ravi
sedang melamun dan memandanginya. Sudah lama Ravi tidak bertemu Alia, dan di
bangku coklat tua inilah pertama kalinya dia duduk di samping gadis yang sudah
lama dia kagumi setelah lama tidak bertemu. “Rav?” suara lembut Alia
membuyarkan lamunan Ravi, “Iya Al?”. “Ah kamu kebiasaan, setiap diajak ngobrol
sering melamun”, Alia kesal. “Kamu tadi tanya apa Al?” tanya Ravi mencoba
kembali ke pembicaraan awal mereka yang sempat terganggu karena lamunannya. “Aku
tadi tanya, kamu ngapain disini?” sahut Alia. “Coba tebak!”, kata Ravi. Alia
meletakkan telunjuknya di pelipis kepala, seolah-olah seperti sedang mencoba
memecahkan suatu teka-teki, “Emm.. Hari minggu. Sore hari. Badan berkeringat.
Bau asem. Seragam futsal. Sepatu futsal. Handuk buluk. Aku tau, pasti habis
main futsal. Iya kan?”, jawab Alia dengan senyum kegirangan setelah berhasil
menebak tebakan Ravi. “Al emang paling tau deh!”, ujar Ravi dengan tawa ringan
yang disambut dengan tawa malu-malu Alia.
Hening. Setelah tertawa bedua mereka diam seribu bahasa.
Alia sibuk memainkan rumput hijau di bawah kakinya dengan flatshoes merah marunnya.
Sedangkan Ravi sibuk melihat kaki Alia yang bergerak kesana kemari, ke kanan
dan ke kiri. “Uda makan Al?”, suara Ravi memecah keheningan. “Emm.. belum Rav.
Belum sempet. Ini aja baru selesai ngajar dari rumah singgah.”, jawab Alia
tanpa menengok ke arah Ravi melainkan masih melihat ke arah rumput di sekitar
sepatunya. “Makan yuk Al, sekalian kita ngobrol-ngobrol. Kan uda lama nggak
ketemu. Kangen nih.”, ajak Ravi. Kaki Alia berhenti memainkan rumput, dan
menengok ke arah Ravi. “Tapi Rav, uda sore nih. Abis ini aku harus uda balik ke
rumah. Kan nggak ada angkot kalau malam”, Alia berusaha menolak. “Gampang,
nanti aku anterin kamu pulang. Gimana?”, bujuk Ravi dengan berdoa dalam hati
agar Alia tidak menolak ajakannya kali ini. “Okelah”, jawaban Alia membuat Ravi
lega. Sudah 6 bulan mereka tidak bertemu. Alia dan Ravi dulunya bersekolah di
SMA yang sama di Surabaya, selama 2 tahun mulai dari kelas X hingga kelas XI.
Dan satu kelas selama 1 tahun yaitu pada saat kelas XI. Namun, saat kenaikan
kelas XII Ravi harus pindah ke Malang karena ayahnya ditugaskan disana. Karena
dia seorang laki-laki dan sudah remaja, dia sering bolak-balik Surabaya Malang
sendirian saat hari libur walau hanya untuk sekedar main futsal bersama
teman-teman lamanya, seperti hari Minggu ini.
Ini kali pertama Ravi membonceng Alia. Alia adalah sosok
gadis yang sederhana dalam berpenampilan, sopan dalam bertutur kata, pintar dan
berwawasan luas, dan memiliki rasa peduli lingkungan yang tinggi. Sosok seperti
Alia-lah yang dapat menarik perhatian Ravi. Selama perjalanan menuju rumah
makan, Alia dan Ravi tidak membicarakan apapun. Mereka hanya diam sampai mereka
tiba di depan rumah makan yang mereka tuju. “Uda sampai Al”, ucapan Ravi
membuyarkan keasikan Alia yang sedang bermain game Pou di handphone-nya. “Oh
uda sampai ya?”, Alia memasukkan handphone-nya ke dalam tas dan turun dari
sepeda motor Ravi. Mereka masuk dan mencari tempat duduk yang kosong, Ravi
memanggil pelayan dan memesan makanan. Sambil menunggu pesanan datang, Alia
nampak asik melanjutkan game Pou-nya sedangkan Ravi hanya mengamati Alia yang
sedang asik sendiri. “Al?”, tanyanya untuk memastikan apakah Alia mendengarkan
dia atau tidak. “Iya Rav?”, jawab Alia dengan menoleh ke arah Ravi dan
meletakkan handphone-nya di meja. “Aku tadi denger kamu sebut-sebut rumah
singgah. Itu apa sih?”, tanya Ravi dengan memainkan kunci sepeda motor yang
sedari tadi dia pegang. “Oh, rumah singgah itu tempat aku ngajarin mereka”,
jawab Alia yang tidak sepenuhnya menjawab rasa penasaran Ravi. “Mereka siapa?”,
tanyanya lagi. Belum sempat Alia menjawab, seorang pelayan menghampiri meja
mereka untuk mengantar pesanan. “Permisi mas, ini pesanannya” ucap pria berusia
30 tahunan dan berkumis, sambil meletakkan 2 piring nasi goreng dan 2 gelas es
jeruk di meja. “Terima kasih pak”, ucap Alia dengan melemparkan senyum manisnya
ke bapak berkumis itu. Mereka pun mulai melahap makanan mereka masing-masing.
“Lanjutin dong Al”, kata Ravi dengan cepat cepat
meletakkan tangan yang dilipat di atas meja seolah-olah sudah siap mendengarkan
cerita Alia. Alia tertawa geli melihat ekspresi wajah Ravi yang mirip sekali
dengan ekspresi anak kecil yang sedang serius menonton film spongebob, “Biasa
aja bisa nggak Rav? Antusias banget”, kata Alia sambil menyeruput es jeruknya
yang hampir habis. “Kamu mau tau banget?”, tanyanya lagi. “Emm nggak juga sih.
Eh, bisa dibilang gitu lah pokoknya”, ujar Ravi. “Kamu besok libur kan? Kalau
gitu ikut aku aja ke rumah singgah. Biasanya aku ngajar cuma hari minggu. Jadi,
mumpung liburan aku ngajarnya bisa tiap hari.”, ajak Alia. Tanpa pikir panjang,
Ravi langsung meng-iya-kan ajakan Alia “Boleh juga Al, jam berapa? Aku jemput
kamu ya? Aku harus bawa apa? Pakai sandal apa sepatu?”, beberapa pertanyaan
konyol terlontar dari mulut Ravi. “Uda tanyanya? Aku jawab ya, jam 08.00 WIB.
Nggak usah, kita ketemuan di rumah singgah aja, nanti aku kasih alamatnya.
Nggak harus bawa apa-apa yang penting pakai baju biar nggak malu-maluin.
Terserah, asal jangan pake high heels aja.”, jawab Alia yang disusul dengan
tawa. Ravi ikut tertawa bersamanya. “Uda mau maghrib nih Rav, pulang yuk!”,
ajak Alia. “Yuk!”, sahut Ravi lalu membayar di kasir. Sesampainya di depan
rumah Alia. “Makasi Rav uda mau nganterin”, ucapan terima kasih Alia disusul
dengan suara nyala sepeda motor Ravi. “Iya Al sama-sama”, jawab Ravi sambil
melajukan motornya meninggalkan pekarangan rumah Alia.
Keesokan paginya, tepat pukul 07.00 Alia sudah tiba di
rumah singgah. Ia datang membawa buku-buku cerita yang bertemakan “cita-cita” miliknya.
Ia bergegas menata bangku dan karpet. Lalu datanglah seorang anak laki-laki berusia
6 tahunan dengan membawa ayam jago kesayangannya. “Pagi kak Alia!”, sapa anak
itu sambil tersenyum menatap Alia. “Pagi Beno!”, Alia membalas sapaan Beno. “Wah
kak Alia bawa buku cerita banyak banget, Beno boleh pinjam kak?”, wajah Beno
tampak senang saat melihat tumpukan buku itu. “Boleh dong, asal ayamnya ditaruh
dulu di rumah. Nanti bisa ganggu Beno pas lagi baca lho.”, jawab Alia. “Oh iya,
yauda kak Beno anterin Ojan pulang dulu ya kak.”, Beno bergegas lari
meninggalkan rumah singgah. Selang beberapa menit Beno sudah tiba lagi di rumah
singgah sambil terengah-engah. “Cepat banget sampainya”, gerutu Alia sambil
tertawa melihat tingkah lucu Beno.
Nyolong dari Mbah Google |
Beno nampak asik memilih buku cerita dan dia menemukan
sebuah buku yang menarik perhatiannya. “Ci..ta.. ci..ta..ku..”, Beno
terbata-bata membaca judul buku yang dia pegang. Dia tertarik karena melihat
cover buku yang terdapat gambar kartun seorang anak laki-laki memakai seragam,
bertopi, dan di belakangnya ada gambar pesawat. “Cita-cita itu apa kak?”, tanya
Beno kepada Alia yang sedang menghapus papan tulis. Alia meletakkan penghapus
papan-nya dan duduk di samping Beno. “Cita-cita itu kalau kita sudah besar kita
mau jadi apa”, jawab Alia. “Kak Alia mau jadi apa?”, tanyanya lagi. “Kak Alia mau
jadi dokter, kalau Beno?”, tanya Alia. “Beno mau jadi kayak gini kak”, jawab
Beno sambil menunjuk cover buku yang dia pegang. “Beno mau jadi pilot?”, tanya
Alia. Beno mengangguk, matanya tetap memandang cover buku cerita itu.
“Assalamualaikum”, Alia mengenal suara itu, suara Ravi. “Waalaikumsalam,
masuk Rav”, jawab Alia. “Kok masih sepi Al?”, tanya Ravi. “Iyalah, kan aku
nyuruh kamu datang jam 8 ini masih setengah 8 Rav.”, jawab Alia. Ravi melihat
Beno yang sedang asik membaca, “Halo adek, namanya siapa?”. Pertanyaan Ravi
tidak terdengar oleh Beno karena masih asik membaca buku ceritanya. Alia hanya
tertawa melihat Ravi dicuekin Beno. Muka Ravi terlihat kesal, bibirnya pun
dimanyunkan beberapa centi. “Jelek banget Rav.”, Alia tertawa mengejek Ravi.
Sudah pukul 08.00, anak-anak mulai berdatangan dan menempati tempatnya
masing-masing. Ravi-pun membantu Alia untuk membagikan buku cerita yang tadi
sudah disiapkan Alia. Anak-anak mulai mengamati buku yang mereka pegang. Alia
memulai pembelajaran hari ini, “Selamat pagi adek-adek!”. “Selamat pagi
kakak-kakak!”, sahut mereka. “Itu temannya kak Alia ya?”, sahut seorang gadis
kecil yang duduk di bangku paling depan. “Iya Zahra, ini teman kak Alia.
Namanya kak Ravi.”, jawab Alia sambil memegang pundak Ravi. Ravi menyapa
mereka, “Halo adek-adek!”. Mereka kompak membalas sapaan Ravi, “Halo kak Ravi!”.
“Adek-adek, cita-cita itu apasih?”, tanya Alia sambil
mengacungkan jari telunjuk. Beno angkat tangan dan menjawab, “Kata kak Alia, cita-cita
itu kalau kita sudah besar kita mau jadi apa”. “Wah Beno pintar!”, puji Alia
sambil mengacungkan dua jempol untuk Beno. “Kak Alia mau tanya, apasih
cita-cita kalian?”, Alia mulai menunjuk satu persatu anak mulai dari pojok
kanan depan hingga pojok kiri belakang untuk memberikan jawaban. Ada yang ingin
menjadi guru, dokter, pilot, dll. “Oke sekarang kalian baca buku ceritanya
terus setelah itu kalian gambar sesuai cita-cita kalian. Nanti gambar terbagus
dapet hadiah dari kak Alia”, tantang Alia kepada anak didiknya yang berjumlah
12 orang. Ravi membantu Alia membagikan kertas gambar dan krayon.
Sambil
menunggu mereka menggambar, Alia dan Ravi duduk di teras rumah singgah sambil
menikmati rintik-rintik hujan yang mulai turun. “Ngomong-ngomong soal
cita-cita, cita-citamu itu apasih Al?”, Ravi memecah keheningan di tengah
rintikan hujan. “Aku pengennya jadi dokter Rav, jadi aku sekarang harus belajar
yang giat supaya dapat beasiswa. Kalau uda jadi dokter kan enak, bisa bantu
ayah sama ibu nyekolahin adek-adekku. Nanti aku juga bisa bangun rumah singgah
yang sesungguhnya buat mereka. Nggak cuma rumah singgah di pos ronda kayak gini.”,
ujar Alia sambil mendongak melihat langit biru yang sedang menyirami tanaman di
sekelilingnya. “Kalau kamu?”, Alia balik bertanya kepada Ravi. “Aku? Emm..
Kalau aku pengennya jadi polisi Al. Cocok nggak?”, tanyanya sambil tertawa
kecil. Alia menoleh ke arah Ravi, menyipitkan mata sambil menopang dagu, “Emm..
enggak Rav.” jawabnya. “Serius Al? Kenapa?”, tanya Ravi serius dan penasaran. “Kamu
nggak bisa marah sih.”, ledek Alia. Ravi
kesal dan mengacak-acak kerudung Alia. “Raviii…”, Alia kesal dan mengejar Ravi.
Tanpa sadar mereka sedang berlari dibawah hujan.
“Yah..
basah kuyup kan”, rengek Alia saat masuk di rumah singgah. “Kak Alia, aku sudah”,
teriak Zahra. “Aku juga sudah kak”, teriak anak lain. “Yauda, ayo dikumpulkan.
Pengumumannya besok ya. Kan kita ketemu lagi, InsyaAllah”, jawab Alia dengan
melempar senyum ke anak-anak yang masih lugu itu. “Kita boleh pulang nggak kak?”,
tanya Beno. Alia melihat anak-anak sedang asik melihat hujan di jendela rumah
singgah. “Nanti kalau kalian pulang, kalian kehujanan. Disini dulu aja ya.”,
bujuk Alia. “Tapi kami pengen hujan-hujan kayak kak Alia tadi.”, sahut salah
seorang anak yang sedang asik mengadahkan tangannya di luar jendela dan
merasakan dinginnya air hujan. “Yauda, kalian boleh pulang.”, Alia akhirnya
luluh dengan muka polos mereka yang merengek minta pulang agar bisa
hujan-hujan. “Horeee…”, anak-anak langsung bergegas keluar dan menari-nari di
bawah derasnya hujan yang mengguyur perkampungan mereka. Alia dan Ravi pun ikut
menari-nari bersama mereka.
Hari
demi hari berlalu seperti biasanya. Sekarang Alia sudah menjadi dokter di
sebuah rumah sakit daerah di Surabaya. Setelah lulus SMA, dia diterima di Fakultas
Kedokteran Universitas Airlangga di Surabaya dengan beasiswa. Semua itu dia
dapatkan karena kerja keras yang dia lakukan selama ini. Sudah 2 tahun dia
bekerja di rumah sakit tersebut, dan sekarang dia sudah bisa menyewa sebuah
rumah kecil yang dia gunakan sebagai rumah singgah. Beno, Zahra, dan 10 anak
didik Alia angkatan pertama yang lain sudah beranjak remaja. Kini mereka-lah
yang sering membantu Alia untuk mengajar anak-anak rumah singgah yang lebih
muda. Adik Alia, Naila yang saat ini duduk di bangku SMA kelas XII dan Alif
yang duduk di bangku SMA kelas X juga sering mampir ke rumah singgah untuk
membantu Alia yang sering absen karena pekerjaannya sebagai dokter tidak bisa
izin keluar dengan mudah. Sedangkan si bungsu, Zafran yang masih duduk di kelas
2 SD juga sering ikut Naila dan Alif ke rumah singgah walau hanya sekedar untuk
bermain bersama anak-anak di rumah singgah. Kedua orang tua Alia merasa bangga
karena mereka mempunyai anak yang memiliki rasa sosial yang tinggi, karena
“Sebaik-baiknya manusia adalah manusia yang bermanfaat bagi manusia lainnya”
“Sebaik-baiknya manusia adalah manusia yang bermanfaat bagi manusia lainnya”
(Tok tok tok) Salah
seorang suster membuka pintu ruangan Alia, “Permisi dok, ada yang mau bertemu
dengan dokter.” Alia yang sedang sibuk dengan laptopnya menoleh ke arah pintu, “Siapa?”
tanyanya. “Seorang pria dok, memakai seragam polisi.”, jawab suster itu. “Suruh
masuk saja sus.”, pinta Alia. Suster kemudian menutup pintu dan tidak lama
kemudian pintu terbuka kembali. Alia melihat seorang pria di balik pintu itu. Wajah
pria itu nampak familiar baginya, pria itu nampak gagah dengan seragam
polisinya, Alia menyebutkan sebuah nama, “Ravi?”. Pria itu tersenyum ke arahnya
dan berkata “Halo bu dokter, uda lama ya kita nggak ketemu. Tapi kok masih kecil
aja ya?”, goda Ravi yang sudah nampak dewasa dengan pekerjaan barunya. “Kamu
masih nyebelin aja ya Rav, silahkan duduk pak polisi.”, Alia membalas godaan
Ravi. “Gimana Al? Cocok nggak?”, tanya Ravi sambil senyum manis kepada Alia. “Emm..
Kalau sekarang sih cocok Rav.”, jawab Alia dengan diiringi canda tawa. Mereka
pun mengobrol sambil mengingat kembali masa lalu mereka, mulai dari saat mereka
SMA, bertemu di lapangan sepak bola, bertemu dengan anak-anak rumah singgah, dan
menari dibawah hujan.
Quote of this short story : DO WHAT YOU CAN, WITH WHAT YOU HAVE, WHEREVER YOU ARE :)
Quote of this short story : DO WHAT YOU CAN, WITH WHAT YOU HAVE, WHEREVER YOU ARE :)
(Created by: Alifatuz Zahrah)
6 komentar:
wadah" keren gila
Bagus sa :)
Like it deh (y)
jadi pendidik bagsa dongs :)
@Ical : makasi mbah :)
@Rachmawati : terima kasih :)
@Gita : Aamiin semoga tercapai :)
Pahlawan tanpa tanda jasa.
Posting Komentar
leave a comment here, commenters.